Untukmu Kawan Di Alam Lain
“Primus Keiya”
SahabatKu, Primus Keiya. (Kiper Utama Persigubin, Pegunungan Bintang) |
Bagiman
ceritanya jika kejadian itu datang seperti angin yang berlalu menyenggol dan
lewat begitu saja tampa permisi dan tidak terlihat. Bagimana ceritanya jika
kejadian itu semacam sebuah mimpi yang berlalu pada malam dan siang hari.
Sebuah kumpulan darah yang melekat diotak hingga membuat kepala sakit adalah
ketika kunjungan itu hanya melihatmu terbaring diatas meja yang ditutup dengan kain
putih disebuah rungan megah.
Rasa
tidak percaya itu muncul tetapi ini kenyataan hidup yang kita mesti lewati,
tetapi kenyataan itu kenapa seperti mimpi sebelum membagi janda dan tawa
seperti sebelumnya.? Sebuah pertanyaan itu tidak menjadi makna, sebab semua
telah terjadi nyata. Mimpi janda tawa menjadi hayalan belaka, hanya bisa di
kenang walaupun itu sakit untuk di rasakannya.
Pemikiran
dan takdir sang ilahi memang sangat bedah jauh, tetapi tandir yang menimpa
dirimu menjadi duri yang mengikat hati ini, duri itu menusuk hingga menembusi
hati seakan tidak bisa untuk dijabut. Semua yang menjadi “Memory” antara kita
menjadi ingatan yang tidak pernah hilang dari dalam pikiran ini, gugatan
semakin genjar menembusi sebuah sukma hingga membunuh tubuh ini perlahan.
Senyum yang dahulu melekat seakan telah menghilang bersamaan dengan kepergianmu
di alam bersama bapa ilahi.
*
* * * * * * * * * * * * * *
Semua menjadi
lengkap saat itu, saat janda dan tawa itu masih berjalan bersama suara-suara
dari balik penjara bebas dibawah sang penguasa kolonial indonesia. Semua rasa
masih kita berbagi bersama di sebuah rumah kumuh di belokan jalan ibu kota itu.
Disaat itu kau masih bersama kita, kita melangka dengan kaki kosong menyusuri
tanah yang telah disuburkan oleh tulang belulang yang telah mendahui kita yang
dibunuh oleh para pembunuh.
Sebuah
jalanan yang sedang di penuhi dengan kemunafikan manusia-manusia berwatak sang
kolonial indonesia masih bersinar senyum-senyum sang bintang kejorah. Kibaran
senyum itu masih berjalan bersamaan dengan langka kaki di jalanan penuh kerikil
kalah itu. Kasih kosong dan noken agrek jahitan mama papua adalah gaya
sehari-hari yang selalu kau kenakan kawan. Jiwa kesenderhaan itu masih terlihat
dalam mimpi ini. Semua kisah dijalanan itu masih melakat melingkar otak ini
hingga membuat senyum terasa hampa.
Jalan
buper tempat kita pijakan kaki, jalan buper tempat kita menabur senyum dan
tawa, dijalan buper tempat kita berbagi rasa. Kini menjadi suram dan hampa,
tempat-tempat itu menjadi kenangan yang pahit kawan. Semua menjadi hilang
bersamaan kepergianmu.
Kopi
hitam dan extrajoss susu menjadi sebuah penawar disaat itu, “Kami menyebutnya
Obat” dan obat-obat itu menjadi hilang bersamaan dengan berhakirnya nafasmu,
semua akan menjadi kenangan yang pahit yang akan menjadi racun dalam otak dan
membuat otak semakin gila dan stress karena semua kenangan itu sulit untuk ku
hilangkan dari dalam pikiran ini.
*
* * * * * * * * * * * * * * *
Perjalan itu
menjadi rahasia tersendiri yang akan menjadi luka yang tidak bisa terobati
dengan cepat. Perjalanan yang kita lalui dilembah dan gunung itu menjadi
perjalan terhakir dari lima tahun kita berpisah bertemu di tempat yang
diketahui oleh kita berdua sendiri.
Perjalanan
Panjang Nabire, Dogiyai, Deiyai, Paniai menjadi kisah terhakir yang kita lalui
bersama. Lukunya jalan bukan halangan sebagai seorang sehabat kala itu. Semua
berjalan seadahnya, tawa dan senyum berkibar dengan tenang, gimbira masih
terasa kala itu, saat bersama. Kini kenangan itu menjadi cerita akhir antara
luka dan duka, kau bawah sebagian dari tubuh ini bersama nafasmu di alam lain.
Dialam bersama bapak kita disana.
Pelabuhan
sama busa tempat kita berpisa. Kala itu ku relah melepasmu pergi dengan harapan
kita akan bertemu disaat-saat tertentu, diwaktu tertentu di tempat lain. Namun
harapan itu hanya menjadi harapan semata. Harapan itu hanyalah mimpi pada siang
bolong. Kini ku terpaku dalam kehanpaan. Jiwaku kini ditemani kesunyian, tubuh
ini mati perlahan.
* * * * * * * * * * * * * * * * *
*
Malam itu,
harapan sudah teralah bahwa kita akan ketemu di kota yang penuh dengan
kenangan, kota tempat kita tanam benih-benih persahabat di jalur jalanan yang
dahulu itu. Jalan buper tempat kita menginjak kaki, melangka menebar senyum
persahabat, menghibur diri yang panah.
Harapan
tak seindah kenyataan, sebuah harapan itu menjadi luka yang mendalam, sebuah
harapan yang menjadi duka yang mematikan tubuh ini. Jiwa-jiwa yang kami tanam
menjadi pudar seketika dikagetkan dengan berita kepergianmu. Berbagai
pertanyaan menjadi hayalan matikan.
“Pagi
itu za tiba, harapan sore za akan ketemu ko, yang za temua adalah ko pu tubuh
yang sudah ditutup dirimaha sakit Diam harapan” ini sunggu menyakitkan. Padahal
sudah kita sepakati bawah sore kita akan ketemu. Primus Amoye Keiya, Ko Jahat,
Ko Jahat, Ko Jahat dan Jahat. Sunggu kawan/Sahabt sunggu kau pembunuh jiwa,
Sahabat Kau Penipu..? Kawan semua yang terjadi itu menyakitkan. Kenapa tidak
bilang kalau sore saya akan ke rumah bapak untuk selamanya, padahal pagi itu ko
bilang kita akan ketemu sore dan duduk minum kopi bersama.? Kenapa secepat itu
ka..? Primus Keiya eee....
“Satu
Untuk Semua” kata ini telah mati, mati bersamamu, pergi bersamamu, menghilang
bersamamu, tidak kembali bersamamu. Disaat kata itu kembali, kami yang
menyepakati kata itu akan sadar bawah Bayanganmu telah datang, dan tinggan
bersama kami, kau juga sedang mengungkapkan kata yang telah kita sepakati yakni
“Satu Untuk Semua”.
“Dosen,
Guru, Murut, Mahasiswa. Ini ucapan persahabat yang akrap sekali, itu juga telah
kau bawah bersama kepergianmu yang menyakitkan itu “Primus Keiya”, semua
menjadi catatan tersendiri antara kita. Sejarah yang akan kita ukir dalam diri
kita kawan. Walau kau telah pergi, kami percaya bayangmu akan tetap bersama
kami, menghiasi senyum dan tawa, mengukir persahabatan seperti dahulu
kawan/Sahabat”.
* * * * * * *
* * * * * * * * * * * *
“Semua yang telah kita ukir, saat kau asih
bersama dialam ini akan menjadi sejarah tersendiri yang tidak akan pernah
hilang dari ingatan ini. Semua carita dan kisah akan terkenang abadi dalam jiwa
kami, senyum dan tawamu akan selalu hidup dalam tubuh ini walau kau telah pergi
untuk selamanya”.
“Kepergianmu
yang mengagetkan memang membuat hati tidak terimah, namun ini adalah kenyataan
hidup yang mesti terjadi, kita diadakan oleh sang Ilahi dan juga diambil Oleh
sang ilahi, kau telah di jadwalkan lebih dahulu dan kita juga akan menyusul
kawan”.
“Kawan.
Jika Jujur, Ingin ku marahi tuhan, rasanya semua terlalu capat terjadi, walau hati
tak terimah jiwa ini merelakan semuanya. Sebab kita hanya sebagai penghuni di
alam/dunia ini. Kawan kau Sahabat yang akan selalu abadi dalam hidupku”.
Selamat
Jalan, Tunggulah kami di alam lain, kami akan menyusul dari belakan, dialam
sana semoga kita bertemu dan kembali membagi senyum dan tawa seperti dahulu
“disaat kita bersama” sayang.
“Pedih
untuk di kenang, Sakit untuk dirasakan, namun semua rencana tuhan yang mesti za
terimah”
Selamat
jalan kawan/Sahabat, Guruku, PalhawanKu, Orang Tuaku. PRIMUS AMOYE KAIYA. Kiper
Senior Persigubin Pegunungan Bintang.
Dari Sahabtmu :
Desederius Goo
Nabire West Papua
27/04/2016
Foto Sahabatku Primus Amoye Keiya
No comments :
Post a Comment