Sekilas Tentang Buku OPM Karya Socratez S Yoman (bagian-2/habis)
Buku tentang ‘OPM’ (Otsus, Pemekaran dan Merdeka) Karya Socrates S Yoman, rupanya ‘menggoda’ juga isinya. Jika tulisan sebelumnya menyangkut seputar proglog dan profil buku tersebut, maka bahasan berikut, tentang Merdeka. Penulis mengawalinya dengan mengutip pernyataan Kepala P2P LIPI, Syamsudin Haris, bahwa ‘Secara hukum, Papua adalah bagian tidak terpisahkan dari NKRI’ (Sinar Harapan, 19 Januari 2010).
Peluncuran buku karangan Pdt. Socratez S Yoman berjudul OPM (Otonomi, Pemekaran dan Merdeka). Acara ini juga menghadirkan Pdt. Herman Awom,S.Th dan wakil Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua Matius Murib SH.
Pernyataan tersebut, menurut penulis, adalah sudah merupakan representasi (keterwakilan) pemahaman pemerintahdan juga kebanyakan rakyat Indonesia. Penulis dengan tegas dan jelas menyatakan makna ‘Merdeka’ dalam pembahaan bukunya tersebut, adalah kembali pada kemerdekaan dan kedaulatan asli. “Artinya, leluhur dan nenek moyang orang Melanesia orang asli Papua ini sejak dulu telah merdeka dan tidak pernah dijajah dan dikuasai oleh bangsa-bangsa lain,” demikian ditegaskan penulis.
Lebih tegas lagi pada akhir aline ke-5, dikatakan bahwa, “Singkatnya, orang asli Papua mau bebas dan merdeka dari pendudukan dan penjajahan Indonesia,” tegasnya. Kemerdekaan yang kemudian dilanjutkan dengan pengutipan mukadimah UUD 1945 yang dimaknai dan diterjemahkan sebagai keinginan orang Melanesia, yakni “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Setelah mengulas sejarah integrasi (oleh penulis disebut ‘aneksasi’) Papua ke dalam wilayah Indonesia, penulis juga menceritakan sejarah yang terjadi di Tanah Papua. Yakni peristiwa pengibaran bendera Bintang Kejora 1 Desember 1961, keluarnya maklumat Presiden Soekarno yang terkenal dengan sebutan ‘Trikora’ 19 Desember 1961, perjanjian New York 1962, perjanjian Roma 30 September 1962, dan peralihan pemerintahan di Papua dari Belanda ke UNTEA (salah satu badan di PBB) 1 Oktober 1962 yang kemudian peralihan dari UNTEA ke Indonesia 1 Mei 1963, juga PEPERA 1969 (Act of Free Choice 1969).
Dalam tulisannya, juga dicantumkan sedikitnya 22 pernyataan protes dan pengakuan dari tokoh maupun pemimpi Negara, yang intinya menyatakan bahwa dalam pelaksanaan PEPERA terdapat kecurangan atau manipulasi, yang di akhir pembahasan tentang ‘Merdeka’ penulis mencantumkan deklarasi HAM PBB tentang hak penduduk asli tanggal 13 November 2007.
Bab 5, penulis menyimpulkan atas tulisan sebelumnya, dengan judul Indonesia gagal mengindonesiakan orang Papua. Dan di awal pembahasannya mengutip pernyataan mantan Presiden RI Soeharto (Alm) pada pertemuannya dengan tokoh-tokoh Papua, terutama Presidium Dewan Papua (PDP) yang dimediasi oleh anggota DPR RI Yoris Raweyai.
“Selama saya menjadi presiden, saya merasa gagal meng-Indonesia-kan orang Papua. Karena, pada awalnya, kami mengirim orang-orang buangan bekas-bekas PKI untuk merebut Papua. Orang-orang ini tidak menunjukkan watak kemanusiaan tapi watak dan perilaku kekerasan dan kekejaman yang tidak manusiawi terhadap orang Papua. Jadi sekarang ini, sudah era demokrasi dan lebih baik kalian berjuanglah dengan cara-cara demokratis,” demikin kutipannya.
Selanjutnya, Penulis menguraikan secara singkat apa yang dialami generasi tua orang asli Papua era 40-an, dan bagaimana pemikiran generasi muda orang asli Papua era 70-an. Juga pertanyaan tentang mengapa sulitnya meng-Indonesia-kan orang Papua?. Yang langsung dijawabnya dengan singkat, yaitu karena orang asli Papua adalah orang Melanesia, bukan orang Melayu.
Diuraikan juga tentang perbincangan Gubernur Papua (Irian Barat) yang pertama Elizer Yan Bonay (Alm) dengan Pangdam XVII Cenderawasih saat itu tentang rakyat Papua yang menyeberang ke PNG, juga perbincangan Mendagri dengan Gubernur Isaac Hindom (Am) dengan topic yang sama.
Penulis juga menguraikan tentang sejumlah orang Papua yang dikatakannya sebagai kelompok pendukung NKRI yang dipaksanakan. Serta pemikiran tentang sejarah dari sejumlah tokoh maupun anggota DPR RI termasuk Menteri Luar Negeri RI Hasan Wirayuda.
Di Bab terakhir , Penulis mengemukakan tentang seruan dialog damai, oleh sejumlah komponen, seperti Pemerintah Inggris, Gereja-gereja, LIPI, Akademisi dan cendekiawan Papua, anggota Kongres Amerika, komentar Penulis di media massa lokal tentang dialog .
Yang pada pokok tulisannya terakhir, adalah tentang solusi pemikiran dari Penulis, yang diawali dengan sebuah pertanyaan dari Penulis, yaitu ‘Apakah ada ruang yang memungkinkan bagi bangsa Indonesia yang dinilai sebagai pelaku pelanggaran HAM berat dan berpenduduk mayoritas Islam ini untuk dapat mengukir sejarah di Negara-negara Asia dan Negara berkembang yang bermartabat, simpatik, terhormat, manusiawi, dan bermoral memberikan kesempatan kepada Bangsa Papua Barat untuk mengembangkan dirinya di atas tanah airnya sendiri?’
Alinea terakhir sebelum menuangkan usulannya, penulis menyatakan bahwa Orang Asli Papua mempunyai satu kerinduan, yaitu, pada abad 21 ini, orang asli Papua “mau menikmati setitik harapan dan cahaya” di tanah dan negeri mereka sendiri. Karena itu, solusi sebagai suatu alternatif yang diusulkan oleh penulis adalah :
1. Pemerintah Indonesia diharapkan tidak menggunakan kekerasan militer dan berbagai kebijakan yang represif untuk menyelesaikan masalah Papua.
2. Pemerintah Indonesia diharapkan menghentikan usaha-usaha pengkondisian wilayah dan pembunuhan kebebasan dan demokrasi bagi orang asli Papua.
3. Pemerintah Indonesia, Bangsa Papua Barat, dan masyarakat Internasional duduk berbicara atau berdialog secara adil untuk mencari solusi yang bermartabat, terhormat dan manusiawi.
4. Pemerintah Indonesia memberikan kemerdekaan kepada Papua Barat dengan berbagai komitmen kerja sama dalam bidang politik, ekonomi dan keamanan.
5. Pemerintah Indonesia harus mengukir sejarah dalam era ini dan dengan cara membuktikan bahwa Negara berkembang yang mayoritas berpenduduk muslim juga mampu memberikan kesempatan kepada daerah yang diduduki dan dijajah untuk mengatur dirinya sendiri.(tamat)/03
Buku tentang ‘OPM’ (Otsus, Pemekaran dan Merdeka) Karya Socrates S Yoman, rupanya ‘menggoda’ juga isinya. Jika tulisan sebelumnya menyangkut seputar proglog dan profil buku tersebut, maka bahasan berikut, tentang Merdeka. Penulis mengawalinya dengan mengutip pernyataan Kepala P2P LIPI, Syamsudin Haris, bahwa ‘Secara hukum, Papua adalah bagian tidak terpisahkan dari NKRI’ (Sinar Harapan, 19 Januari 2010).
Peluncuran buku karangan Pdt. Socratez S Yoman berjudul OPM (Otonomi, Pemekaran dan Merdeka). Acara ini juga menghadirkan Pdt. Herman Awom,S.Th dan wakil Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua Matius Murib SH.
Pernyataan tersebut, menurut penulis, adalah sudah merupakan representasi (keterwakilan) pemahaman pemerintahdan juga kebanyakan rakyat Indonesia. Penulis dengan tegas dan jelas menyatakan makna ‘Merdeka’ dalam pembahaan bukunya tersebut, adalah kembali pada kemerdekaan dan kedaulatan asli. “Artinya, leluhur dan nenek moyang orang Melanesia orang asli Papua ini sejak dulu telah merdeka dan tidak pernah dijajah dan dikuasai oleh bangsa-bangsa lain,” demikian ditegaskan penulis.
Lebih tegas lagi pada akhir aline ke-5, dikatakan bahwa, “Singkatnya, orang asli Papua mau bebas dan merdeka dari pendudukan dan penjajahan Indonesia,” tegasnya. Kemerdekaan yang kemudian dilanjutkan dengan pengutipan mukadimah UUD 1945 yang dimaknai dan diterjemahkan sebagai keinginan orang Melanesia, yakni “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
Setelah mengulas sejarah integrasi (oleh penulis disebut ‘aneksasi’) Papua ke dalam wilayah Indonesia, penulis juga menceritakan sejarah yang terjadi di Tanah Papua. Yakni peristiwa pengibaran bendera Bintang Kejora 1 Desember 1961, keluarnya maklumat Presiden Soekarno yang terkenal dengan sebutan ‘Trikora’ 19 Desember 1961, perjanjian New York 1962, perjanjian Roma 30 September 1962, dan peralihan pemerintahan di Papua dari Belanda ke UNTEA (salah satu badan di PBB) 1 Oktober 1962 yang kemudian peralihan dari UNTEA ke Indonesia 1 Mei 1963, juga PEPERA 1969 (Act of Free Choice 1969).
Dalam tulisannya, juga dicantumkan sedikitnya 22 pernyataan protes dan pengakuan dari tokoh maupun pemimpi Negara, yang intinya menyatakan bahwa dalam pelaksanaan PEPERA terdapat kecurangan atau manipulasi, yang di akhir pembahasan tentang ‘Merdeka’ penulis mencantumkan deklarasi HAM PBB tentang hak penduduk asli tanggal 13 November 2007.
Bab 5, penulis menyimpulkan atas tulisan sebelumnya, dengan judul Indonesia gagal mengindonesiakan orang Papua. Dan di awal pembahasannya mengutip pernyataan mantan Presiden RI Soeharto (Alm) pada pertemuannya dengan tokoh-tokoh Papua, terutama Presidium Dewan Papua (PDP) yang dimediasi oleh anggota DPR RI Yoris Raweyai.
“Selama saya menjadi presiden, saya merasa gagal meng-Indonesia-kan orang Papua. Karena, pada awalnya, kami mengirim orang-orang buangan bekas-bekas PKI untuk merebut Papua. Orang-orang ini tidak menunjukkan watak kemanusiaan tapi watak dan perilaku kekerasan dan kekejaman yang tidak manusiawi terhadap orang Papua. Jadi sekarang ini, sudah era demokrasi dan lebih baik kalian berjuanglah dengan cara-cara demokratis,” demikin kutipannya.
Selanjutnya, Penulis menguraikan secara singkat apa yang dialami generasi tua orang asli Papua era 40-an, dan bagaimana pemikiran generasi muda orang asli Papua era 70-an. Juga pertanyaan tentang mengapa sulitnya meng-Indonesia-kan orang Papua?. Yang langsung dijawabnya dengan singkat, yaitu karena orang asli Papua adalah orang Melanesia, bukan orang Melayu.
Diuraikan juga tentang perbincangan Gubernur Papua (Irian Barat) yang pertama Elizer Yan Bonay (Alm) dengan Pangdam XVII Cenderawasih saat itu tentang rakyat Papua yang menyeberang ke PNG, juga perbincangan Mendagri dengan Gubernur Isaac Hindom (Am) dengan topic yang sama.
Penulis juga menguraikan tentang sejumlah orang Papua yang dikatakannya sebagai kelompok pendukung NKRI yang dipaksanakan. Serta pemikiran tentang sejarah dari sejumlah tokoh maupun anggota DPR RI termasuk Menteri Luar Negeri RI Hasan Wirayuda.
Di Bab terakhir , Penulis mengemukakan tentang seruan dialog damai, oleh sejumlah komponen, seperti Pemerintah Inggris, Gereja-gereja, LIPI, Akademisi dan cendekiawan Papua, anggota Kongres Amerika, komentar Penulis di media massa lokal tentang dialog .
Yang pada pokok tulisannya terakhir, adalah tentang solusi pemikiran dari Penulis, yang diawali dengan sebuah pertanyaan dari Penulis, yaitu ‘Apakah ada ruang yang memungkinkan bagi bangsa Indonesia yang dinilai sebagai pelaku pelanggaran HAM berat dan berpenduduk mayoritas Islam ini untuk dapat mengukir sejarah di Negara-negara Asia dan Negara berkembang yang bermartabat, simpatik, terhormat, manusiawi, dan bermoral memberikan kesempatan kepada Bangsa Papua Barat untuk mengembangkan dirinya di atas tanah airnya sendiri?’
Alinea terakhir sebelum menuangkan usulannya, penulis menyatakan bahwa Orang Asli Papua mempunyai satu kerinduan, yaitu, pada abad 21 ini, orang asli Papua “mau menikmati setitik harapan dan cahaya” di tanah dan negeri mereka sendiri. Karena itu, solusi sebagai suatu alternatif yang diusulkan oleh penulis adalah :
1. Pemerintah Indonesia diharapkan tidak menggunakan kekerasan militer dan berbagai kebijakan yang represif untuk menyelesaikan masalah Papua.
2. Pemerintah Indonesia diharapkan menghentikan usaha-usaha pengkondisian wilayah dan pembunuhan kebebasan dan demokrasi bagi orang asli Papua.
3. Pemerintah Indonesia, Bangsa Papua Barat, dan masyarakat Internasional duduk berbicara atau berdialog secara adil untuk mencari solusi yang bermartabat, terhormat dan manusiawi.
4. Pemerintah Indonesia memberikan kemerdekaan kepada Papua Barat dengan berbagai komitmen kerja sama dalam bidang politik, ekonomi dan keamanan.
5. Pemerintah Indonesia harus mengukir sejarah dalam era ini dan dengan cara membuktikan bahwa Negara berkembang yang mayoritas berpenduduk muslim juga mampu memberikan kesempatan kepada daerah yang diduduki dan dijajah untuk mengatur dirinya sendiri.(tamat)/03
No comments :
Post a Comment