Amungsa, gadis Melanesia bergigi manis.
Ayahnya seorang pemburu, ibunya seorang peramu. Kakak laki-lakinya mati
ditembak, adik perempuannya hilang tak berjejak. Yang tertinggal
sebagai anak, Hanya Amu, demikian si jelita berkulit gelap itu biasa
dipanggil. Hanya dia sendiri.
Ketika mekar jadi gadis belia, Amu adalah
yang paling jelita. Kepadanya semua mata memandang, kepada hatinya
semua sujud dipuja. Setiap hasrat, setiap kehendak yang mau mendapatkan
kedip matanya, buka kalbunya, berlomba melepaskan panah-panah putih,
panah-panah cinta.
Namun, Amu terlalu adil bagi semua. Tak
seorang pun dari yang ber-hasrat dan atau ber-kehendak dipilihnya.
Baginya semua adalah sama dan semartabat. Mencintai satu dari seorang
pria di antara Amungme adalah noktah yang tak terhapuskan, demikian juga
memilih satu gadis dari antara Amungsa yang lain untuk menjadi
sahabatnya adalah ke-sial-an yang tak terhingga.
Katanya suatu ketika, “Tuhan telah
membuatku menjadi jelita, katamu, dan karena itu, biarkan ke-jelita-anku
dibagikan kepada semua”. Mendengar kata-katanya itu, semua mata,
segenap hasrat, seluruh kehendak yang mau mendapatkannya seketika redup.
Nyala mata, bara hastrat perlahan-lahan tenang, walau tak padam.
Kemudian suluk diam menjadi pujian dan doa. “Amungsa, biarkan
panah-panah cinta kami menjadi Nemangkawi (panah suci). Pada puncak
sucimu, kau adalah gadis kami, cinta kami, hasrat kami”
Amu pun tersenyum. Senyumnya menyapa
semua, menyentuh dahan dan bunga, mengenai wajah-wajah tanah, menjejak
kaki-kaki dipijak. Matanya berbinar dari banara salju, melukis putih
bagai santa. Meneteskan embun-embun, menurunkan hujan-hujan, melahirkan
benih-benih, menumbuhkan tunas-tunas, membuahkan harapan-harapan.
Mencintai Amungsa adalah penyatuan, bukan
hanya dengan Amu seorang, tetapi dengan segenap wujud alam,
manusia/sesama pun melampaui itu adalah dengan segenap yang ilahiah.
Serupa pengutuhan, serupa suluk yang tidak lagi menjadi dua, tetapi
sudah menjadi satu dalam cinta yang tak terlukiskan dengan kata.
Namun, pada suatu ketika, ketika bulan
bulat purnama, dalam tenang yang khusuk, Amungsa diperkosa paksa oleh
para peluru. Para peluru, yang datang dari dunia antah berantah, tidak
hanya tumpahkan mesiu, tapi pula pendamkan mesin-mesin pembunuh. Tubuh
Amu, tak hanya dicabik-cabik, tetapi pun rahimnya diburai. Vaginanya
koyak. Kesuciannya lenyap.
Sejuta panah yang panjatkan doa, selaksa
harap yang pohonkan cinta seketika jadi debu tanah. Hari-hari Amu pun
dibeban jenta. Hatinya bagai diiris sembulu. Senyumnya pudar, matanya
padam. Sampai ketika Amu nyaris tak bernyawa, seorang lelaki dari yang
panjatkan panah cinta berdoa dengan umpat:
“Saya selalu bertanya kepada Tuhan dalam
pikiran dan doa-doa saya setiap hari, mengapa Tuhan harus menghadirkan
Amu ke tanah kami, jika pada suatu saat dia harus diperkosa. Jika memang
demikian maksud-Mu Tuhan, sungguh, saya benar-benar marah kepada
Tuhan”. Medengar doa itu, Amungsa meneteskan air mata.
Catatan:
- Suku Amungme adalah kelompok Melanesia terdiri dari 13.000 orang yang tinggal di dataran tinggi provinsi Irian Jaya Indonesia. Mereka menjalankan pertanian berpindah, menambahnya dengan berburu dan mengumpul. Amungme sangat terikat kepada tanah leluhur mereka dan menganggap sekitar gunung suci. Gunung yang dijadikan pusat penambangan emas dan tembaga oleh PT. Freeport Indonesia merupakan gunung suci yang di agung-agungkan oleh masyarakat Amungme, dengan nama Nemang Kawi. Nemang artinya panah dan kawi artinya suci. Nemang Kawi artinya panah yang suci (bebas perang] perdamaian. Wilayah Amungme di sebut Amungsa. Hal ini telah menimbulkan gesekan dengan pemerintah Indonesia, yang ingin mendayagunakan persediaan mineral yang luas yang terdapat di sekitarnya. Masalah terbesar yang dihadapi Amungme adalah banyaknya jumlah tambang, dimiliki oleh Amerika Serikat dan Kerajaan Bersatu, terletak di pusat wilayah Amungme. Pertambangan emas dan tembaga besar-besaran telah menghancurkan lansekap dan menuntun ke banyak protes, yang telah banyak ditekan dengan kekerasan oleh militer Indonesia.
- Terinspirasi dari buku, Piter Sambut “Pastor John Djonga, Pr, Melawan Penindasan dan Ketidakadilan di Papua” (hal. 120-129)
No comments :
Post a Comment