Gadis Nemangkawi

Sunday, 5 May 2013

Amungsa, gadis Melanesia bergigi manis. Ayahnya seorang pemburu, ibunya seorang peramu.  Kakak laki-lakinya mati ditembak, adik perempuannya hilang tak berjejak. Yang tertinggal sebagai anak, Hanya Amu, demikian si jelita berkulit gelap itu biasa dipanggil. Hanya dia sendiri.
Ketika mekar jadi gadis belia, Amu adalah yang paling jelita. Kepadanya semua mata memandang, kepada hatinya semua sujud dipuja. Setiap hasrat, setiap kehendak yang mau mendapatkan kedip matanya, buka kalbunya, berlomba melepaskan panah-panah putih, panah-panah cinta.
Namun, Amu terlalu adil bagi semua. Tak seorang pun dari yang ber-hasrat dan atau ber-kehendak dipilihnya. Baginya semua adalah sama dan semartabat. Mencintai satu dari seorang pria di antara Amungme adalah noktah yang tak terhapuskan, demikian juga memilih satu gadis dari antara Amungsa yang lain untuk menjadi sahabatnya adalah ke-sial-an yang tak terhingga.
Katanya suatu ketika,  “Tuhan telah membuatku menjadi jelita, katamu, dan karena itu, biarkan ke-jelita-anku dibagikan kepada semua”. Mendengar kata-katanya itu, semua mata, segenap hasrat, seluruh kehendak yang mau mendapatkannya seketika redup. Nyala mata, bara hastrat perlahan-lahan tenang, walau tak padam. Kemudian suluk diam menjadi pujian dan doa. “Amungsa, biarkan panah-panah cinta kami menjadi Nemangkawi (panah suci). Pada puncak sucimu, kau adalah gadis kami, cinta kami, hasrat kami”
Amu pun tersenyum. Senyumnya menyapa semua, menyentuh dahan dan bunga, mengenai wajah-wajah tanah, menjejak kaki-kaki dipijak. Matanya berbinar dari banara salju, melukis putih bagai santa. Meneteskan embun-embun, menurunkan hujan-hujan, melahirkan benih-benih, menumbuhkan tunas-tunas, membuahkan harapan-harapan.
Mencintai Amungsa adalah penyatuan, bukan hanya dengan Amu seorang, tetapi dengan segenap wujud alam, manusia/sesama pun melampaui itu adalah dengan segenap yang ilahiah. Serupa pengutuhan, serupa suluk yang tidak lagi menjadi dua, tetapi sudah menjadi satu dalam cinta yang tak terlukiskan dengan kata.
Namun, pada suatu ketika, ketika bulan bulat purnama, dalam tenang yang khusuk, Amungsa diperkosa paksa oleh para peluru. Para peluru, yang datang dari dunia antah berantah, tidak hanya tumpahkan mesiu, tapi pula pendamkan mesin-mesin pembunuh. Tubuh Amu, tak hanya dicabik-cabik, tetapi pun rahimnya diburai. Vaginanya koyak. Kesuciannya lenyap.
Sejuta panah yang panjatkan doa, selaksa harap yang pohonkan cinta seketika jadi debu tanah. Hari-hari Amu pun dibeban jenta. Hatinya bagai diiris sembulu. Senyumnya pudar, matanya padam. Sampai ketika Amu nyaris tak bernyawa, seorang lelaki dari yang panjatkan panah cinta berdoa dengan umpat:
“Saya selalu bertanya kepada Tuhan dalam pikiran dan doa-doa saya setiap hari, mengapa Tuhan harus menghadirkan Amu ke tanah kami, jika pada suatu saat dia harus diperkosa. Jika memang demikian maksud-Mu Tuhan, sungguh, saya benar-benar marah kepada Tuhan”. Medengar doa itu, Amungsa meneteskan air mata.
Catatan:

No comments :

Post a Comment