Jakarta --
Konsultan Indonesia untuk Human Rights Watch (HRW), Andreas Harsono
ketika dikonfirmasi majalahselangkah.com, Sabtu, (23/1) mengatakan,
kasus penembakan di Puncak Jaya, Kamis, (21/2) lalu yang menewakan 8
anggota TNI itu masuk kategori armed conflict.
"Bila TNI baku tembak dengan OPM, ia tak masuk kategori pelanggaran hak
asasi manusia, tapi masuk dalam kategori armed conflict. Mereka
masing-masing adalah combatant. Mereka mengikuti hukum perang alias
Geneva Convention," kata dia.
Ia menjelaskan, pelanggaran hak asasi manusia adalah kriminalitas yang
dilakukan oleh aktor-aktor negara. Kalau tentara pukul warga sipil, ia
tentu pelanggaran. Juga, kalau ada gerilyawan OPM pukul warga sipil,
entah asli atau pendatang, maka ia disebut pelanggaran hak asasi
manusia. Kita bisa minta pemimpin OPM bertanggungjawab, sama dengan kita
bisa minta panglima TNI bertanggung jawab.
Peneliti Hak Asasi Manusia dan Hak-hak kaum minoritas ini mengatakan,
OPM bukan aktor negara namun ia bisa dikategorikan sebagai quasi state
actor alias aktor negara semu. Karena OPM memang ingin Papua berdiri
sebagai negara tapi masih belum berhasil. Ia disebut sebagai negara
semu,"terangnya.
Hukum ini mengatakan combatant, baik OPM maupun TNI, tak boleh menyerang
sipil, tak boleh menyerang combatant yang sedang tidak bertugas.
Diketahui, dalam aksi penembakan itu TPN-OPM menewaskan 8 anggota
Tentara Nasional Indonesia (TNI). Delapan anggota TNI yang ditembak
adalah Sertu Ramadhan (Gugur), Pratu Edi (Gugur), Praka Jojo Wiharja
(Gugur), Pratu Mustofa (Gugur), Praka Wempi (Gugur), Sertu Udin (Gugur),
Sertu Frans (Gugur), Pratu Wahyu Prabowo (Gugur), dan Lettu Inf Reza
(Luka Tembak).
Sementara warga sipil yang tertembak atas nama Di Yohanis, Uli, Markus,
dan satu lagi belum diketahui identitasnya. Sementara, warga sipil yang
terluka yakni Joni, Ronda, Rangka dan Santin.(MS)
No comments :
Post a Comment